Hari rabu pun datang kembali. Seperti
biasanya tepat jam setengah enam pagi jam weker Yuna pun berdering dengan keras
hingga membuat Yuna terkejut dan langsung terbangung
“Jam weker yang menyebalkan!.” dumal Yuna
“aku ingin tidur lagi aku lelah semalaman aku belajar aaa”
Yuna pun bangkit dari tempat tidurnya
lalu ia menarik kursi meja belajarnya dan mendudukinya. Lalu ia memandangi
kalender yang berada di atas meja belajarnya.
Sekarang tanggal satu agustus ya? Ya ampun
sudah bulan agustus aja. Berati sudah nyaris 6 bulan ayah dan ibu pergi
meninggalkanku bukan? Tanggal lima belas aku harap aku tidak akan mengingat
kejadian waktu itu lagi batin Yuna
“Yuna... Yuna.. ayo bangun.” seseorang
mengetuk pintu kamarnya “kamu hari ini sekolah sayang jangan sampai kamu tidak
sarapan lagi.”
“aku udah bangun kok.” teriak Yuna
“sebentar lagi aku mandi.”
--
“kakak ayo bangun....” Selena mencubit
hidung Revan
Revan pun terkejut dan ia pun membuka
matanya
“Elen sakit tau.” gerutunya
“kakak nyebelin ayo bangun bangun
kakak ayo bangun.” rajuk Selena
“iya iya aku bangun.” Revan pun
mengendong adiknya “bocah menyebalkan sini kakak hukum kamu.”
“aaa ... aaa” teriak Selena
Revan pun mengendong adiknya dan
memutar-mutarnya Selena nampak tertawa gembira dengan perlakuan kakaknya itu.
Lalu Revan mengempaskan Selena di atas tempat tidurnya.
“udah ah kakak cape.” gerutu Revan
“kakak lagi...” pinta Selena “aku mau
lagi.”
“nggak ah.” Revan menjulurkan lidahnya
seperti anak beusia lima tahun “sana kamu berangkat sekolah dulu.”
“nggak mau.” jawabnya sambil cemberut.
“ayo sekolah.” perinta Revan.
“tapi yang nganter kakak ya?” tanya
Selena
“Elen mau kakak yang anterin?”
Selena pun menangguk “iya.”
“biasa maunya sama kakek.” sindir Revan
“jadi Elen kangen naik motor sama kakak ya?”
--
Yuna pun sudah bersiap-siap untuk
berangkat kesekolah. Dengan menggunakan seragam kotak-kotak biru dengan rok
putih selutut. Ia nampak bersemangat hari ini. Sebetulnya, ia hanya ingin
melupakan sesuatu hal yang menyakitkan menurutunya hari ini ia terpaksa kesekolah
hanya berdua dengan Vino. hari ini vico sedang sakit ia terus muntah-muntah
sejak semalam
“Yuna berangkat dulu ya.” pamit Yuna
kepada tante estter
“hati hati ya Yun.”
Yuna pun berjalan keluar rumah dan ia
langsung masuk kedalam mobil sedan tua yang sedang terparkir di dalam garasi.
“tumben nggak lama.” sindir Vino yang
sudah duduk di dalam mobil “biasanya aku harus nunggin kamu lama”
“iya biar kamu nggak ngomel-ngomel
kaya inang-inang yang nangih hutang.” jawab Yuna dengan ketus
“teruslah seperti ini.” balas Vino
acuh “jadi aku nggak lama-lama nungguin manusia lemot bin ribet kaya kamu.”
Yuna pun mengepalkan kedua tanganya
“oh aku lemot? Iya? Terus kamu apa?
Sigap? Jangan harap kamu tanya tentang tugas kimia atau biologi denganku.”
“loh kok kamu gitu sih!” Vino nampak
kesal “kenyataanya kamu emang lemot kan? Lalu kamu itu nyebelin kamu tau? mirip kaya anak-anak. aku cape ngikutin kamu
lebih tepatnya kelemotan kamu.”
“oh iya?” suara Yuna naik dua oktaf
“yaudah nggak usah ngikutin aku. aku mau turun aku males kesekolah bareng kamu
banyak komentar aja kaya facebook aku naik angkot aja dadah.”
Yuna pun mengambil tasnya lalu ia
keluar dari mobil dengan membanting pintu mobil dengan sekuat tenaga.
“Yuna tunggu.” teriak Vino.
Yuna pun berlari keluar rumah sambil
menahan kesal.
Aku cape kaya gini aku mau pulang seharusnya
aku gak usah datang kesini kalau vino gak pernah bisa terima aku disini batin Yuna
--
Vino pun keluar dari mobilnya dan
berlari mengejar Yuna keluar rumah. Ia tidak bisa mengimbangi kecepatan Yuna
berlari. Yuna berlari dengan cepat.
Aku bodoh kenapa aku bicara seperti itu batin Vino
“Yuna tunggu Yun aku nggak maksud kaya
gitu.” teriak Vino dengan nafas tersengal-sengal namun Yuna tidak menghiarukan
Vino ia terus berlari.
“Yuna! Tunggu.” teriaknya sekali lagi
Yuna pun berhenti berlari.
Vino pun berlari mendekati Yuna.
“Yuna maafin aku.” ia memeluk Yuna
dari belakang “Yuna ayo lah Yun!”
“apa-apaan si.” gerutu Yuna “lepasin.”
Aku benar-benar tidak bisa menahanya lagi apa
yang harus ku katakan? Aku merasa bodoh saat ini batin Vino
“Yun, maafin aku aku nggak maksud kaya
gitu.” Vino berusah meminta maaf
Yuna pun terus merontah
“Vino apa-apaan si.”
“aku akan lepasin kamu kalo kamu
maafin aku.” jawab Vino
“iya aku maafin.” Yuna nampak setengah
hati “lepasin cepet! untung kompleks rumah sedang sepi apa nanti kata orang.”
Vino pun melepaskan pelukanya itu ia
hanya menunduk tidak berani menatap kedua mata Yuna
“ayo cepetan!” teriak Yuna “tadinya
aku mau naik angkot tau ini udah kesiangan jam pertama itu fisika pelajar guru
klier sepanjang masa itu.”
“siapa? Pak Bagas?” tanya Vino
“iya lah.” Yuna menarik tangan Vino
“kamu bisa ngebut nggak? Jangan sampe kita telat.”
“ah dia doang ribet banget.” gerutu
Vino “iya nona bawel.”
“apa katamu aku bawel? awas kau. Aku
males ah berangakat sama kamu lagi.”
“ah Yuna kamu gitu si ah. Nanti aku
kena omelan ibuku lagi.”
--
Jam makan siang pun tiba. Revan pun
memarkir vespa tuanya tepat di depan kafe tempat ia berkerja. Di depan pintu kafe sudah berdiri katie yang
sedang bertugas untuk menyambut tamu.
“siang kakak.” sapa kathie
“loh kok kakak si?” gerutu Revan “kita
kan seumuran.”
“maunya kakak.” lalu kathie memeluk Revan
dari belakang “boleh ya please.”
“eh apa-apaan lepas kat lepas.” Revan
memberontak
“maaf maaf.” kathie pun melepaskan
pelukanya
--
Hari ini pun Yuna memetuskan untuk
pulang sendiri tidak bersama Vino tapi bersama salah satu temannya dan hari ini
pun Yuna memutuskan untuk pergi ke kafe yang belum lama ini ia datangi dengan
kak vero.
“Yun, kenapa kamu mau ke kafe bunga
banget?” tanya Mila.
“ish kamu harus tau Mil, pancake di
sana enak banget.” jawab Yuna antusis
Lalu mereka berdua turun dari angkot
di depan sebuah bangunan tua dengan beberapa motor yang terparkir di depannya.
“oke kita sampai.” teriak Yuna seperti
anak kecil.
“kamu ini Yun Yun.” gerutu Mila
“kenapa si Mil.” gerutu Yuna
Mila mencubit pinggang Yuna “Diamlah
lemot.”
“Mila jangan seperti Vino.” gerutu Yuna
Lalu kedua gadis itu memasuki kafe
tersebut namun, Yuna merasa melihat sesuatu pemandangan yang kurang
menyenangkan. Mukin terlalu membuatnya teringat sesuatu.
“aish, maaf maaf.” kata seorang gadis
bertubuh pendek yang berada di depan pintu masuk kafe itu
“ah nggak apa-apa.” Yuna tersenyum
Lalu wajah pria yang sedang berdiri di
hadapan Yuna pun sedikit memerah.
“untuk berapa orang?” tanya gadis itu
“dua.” jawab Yuna datar
“mari nona saya antara.” tawar pria
bertubuh tinggi itu
Yuna mengangguk. Dan Mila hanya bisa
tercengang melihat pria yang sedang berada dengan meraka saat ini.
--
Kathie astaga apa yang kamu lakukan mau di
taruh dimana mukaku ini batin Revan
Sambil mengantar kedua gadis itu duduk
di mejanya pikiran Revan pun tidak menentu. Saat ini ia sedang berperang dengan
hatinya. Tujuan dia kembali ke kota ini demi Yura bukan? Tapi saat ini pesona
kathie semacam membuatnya ingin berpaling dari Yura. Dan gadis berambut cokelat
itu... membuatnya semakin ingin meninggalkan semua janji-janji manisnya dengan
Yura.
“silakan duduk nona.” perintah Revan
“terima kasih.” jawab si gadis
bertubuh tinggi
“nona, mau pesan apa?” tanya Revan
dengan ramah.
“pancake with ice cream vanila ya.”
jawab si gadis berambut cokelat datar “minumnya hmm... iced cappuchino aja.”
Dengan cekatan Revan pun menulis di
daftar pesanan apa yang dikatakan oleh gadis itu.
“hhmm... saya pesan cappucino aja
mas.” jawab si gadis bertubuh tinggi itu
“oke saya ulang ya. Satu pan cake with
ice cream vanila dan dua iced cappuchino pesananya lima belas menit lagi akan
sampai ya.”
Lalu Revan pergi meninggakan mereka
berdua
--
“Yun, pantes kamu suka kesini.” kata
Mila tiba-tiba “ternyata pelayannya aja ganteng gitu. hmm ganteng senyumnya itu
manis banget kafe ini si emang nggak terlalu ramai tapi kalau ada pelayan
semacam itu aku bakalan sering-sering kesini.”
Yuna pun tersedak
“duh tuh kan benar.” Mila mengedus
curiga “kamu cuman mau ketemu pelayannya.”
“Mila apa-apaan si.” gerutu Yuna
“nggak kaya gitu Mil, pan cake disini enak banget sungguh deh.”
“yakin? Aku kok nggak percaya.” ledek
Mila “eh itu pelayan yang tadi serius deh ganteng banget. Manis banget duh aku
rasanya bener-bener mau beralih ah dari Vino ke dia.”
“ya ampun Mila Mila.” Yuna menggeleng
“Vino lagi Vino lagi emang apa keunggulan dia? Dia ganteng apa? Dia jelek terus
nyebelin.”
“nyebelin? Dia cool Yuna lalu dia
kapten tim basket sekolah kita.” Kedua mata Mila begitu berbinar “kamu
sepupunya loh seumur hidup kenal sama
dia bilang dia nggak ganteng? Kamu salah.”
Yuna menghela nafas. Sejenak suasan
hening.
Dan ponsel Yuna pun berdering hingga
membuat mereka berdua terkejut
“aish, Mil bentar aku terima telfon
dulu.” Yuna pun bergegas mengambil ponselnya
dari tasnya lalu Yuna bangkit dari tempat duduknya dan berlari kearah
luar kafe
“Yun nanti pesananyan gimana?”
--
Revan pun terus termenung. Di kursi
dekat loker penyimpanan barang Miliknya
ia terus termenung karena semua perasaanya saat ini.
Aku nampak seperti orang jahat aku mengingikan
Yura tapi aku juga menginginkan kathie
dan lebih parahnya lagi sekarang si gadis berambut cokelat itu benar-benar
membuat lututku lunglain ya tuhan aku saat ini seperti orang jahat batin Revan
“Revan tolong pesanan meja nomor
lima.” teriak seseorang dari dapur
Lalu Revan dengan sikap berlari ke
arah dapur
“mana yang harus kuantar?” tanyanya
“ini.” wanita tua bertubuh tambun pun
menyerehkan sebuah nampan berisi pan cake dan capuchino
“cepatlah mukin mereka sudah
kelaparan.” gerutunya
Lalu Revan pun berjalan dan
mengantarkan pesannya itu. Dan ketika ia sampai di meja itu hanya ada si gadis
bertubh tinggi saja
“permisi nona ini pesananya.” lalu Revan
meletakan semua pesan mereka di atas meja.
“eh? Terimakasih.” balas si gadis
tinggi tersebut
“hmm... yang satu lagi kemana?” tanya Revan
ragu-ragu
“oh Yuna? Nggak tahu deh.” Gadis
tinggi itu mengakat bahunya “Tadi dia nerima telfon gitu terus keluar.”
Eh? Namanya Yuna? Nama yang cantik. Tapi, Yuna
Yura sekilas mirip tapi ini berbeda
batin Revan
“oh jadi namanya Yuna.” jawab Revan
“lah? Kenapa? Kok kaya terkesimak
gitu?” tanya si gadis tinggi tersebut
“aish nggak apa-apa kok.” Revan menggeleng
“saya tinggal dulu ya nona kalau ada keperluan silakan panggil saya.”
--
Yuna pun berlari kearah taman di
belakang kafe ini dan ia langsung menerima telfon itu
“mau apa lagi?” sahut Yuna
“Yuna kamu nggak apa-apa?” tanya
seseorang dari telfon “kamu sehat-sehat aja kan?”
“buat apa kamu hubungi aku lagi?”
tanya Yuna ketus “bukan kah kita sudah berakhir? Buat-”
“Yuna aku merindukanmu.”potongnya “Yuna
kembali lah kembali lah ke Jakarta Yun. ayo lah Kamila Yunastria aku
benar-benar tidak bisa hidup tampamu aku benar-benar mencintaimu Yuna.”
Yuna hanya tersenyum getir
“kamu mencintaiku? Apa yang namanya
benar-benar mencintaiku kamu buktikan dengan berselingkuh?”
“Yuna, maaf kan aku.” ia memohon “Yuna
sungguh aku benar-benar minta maaf aku khilaf Yuna aku-“
“kamu pria dewasa Falco.” Potong Yuna.
suara terdengar mulai parau “berapa usiamu? Sembilan belas tahun bukan? Tahun
depan dua puluh tahun lalu kamu juga adalah seorang mahasiswa bukan?. Kamu
bukan seorang anak SMP yang kekanak-kakan lagi seharusnya kamu itu bisa
membedakan mana yang baik mana yang buruk. Kamu tahu? Kamu nampak seperti bocah
berusia tiga belas tahun yang memohon mohon agar diampuni kesalahanya.”
“kamu harus tahu itu. Kamu harus
sadar. Sebuah kepercayaan itu mahal harganya. Dan aku aku tipikal orang ya jika
kamu sudah mengecewakan aku. Maka kamu sudah menghilangkan kepercayaanku.”
“aku benar-benar kecewa denganmu. Aku
pikir dengan usiamu dengan statusmu kamu itu bisa lebih dewasa. Nyatanya? Sama
saja. Oh tuhan seharusnya kita tidak pernah bertemu bukan? Buat apa aku
mencintai orang tapi orang itu justru mengkhiatiku?”
Suara Yuna semakin lama semakin
terdengar parau.
“Yuna, aku bersumpah Yuna aku akan
berubah aku akan menjadi seorang pria yang baik. Aku nggak akan ngecewain kamu
aku nggak-“
“sudahlah Falco.” potong Yuna “lupakan
aku. Hapus kisah kita berdua.”
“Yuna aku benar-benar mencintaimu Yuna!”
teriaknya “aku sungguh-sungguh ingin berubah Yuna, ku mohon berikan aku
kesempatan 1 kali lagi.”
“percuma.” tagisan Yuna pun pecah “aku
benci kamu! Aku benci kamu kata maaf dariku udah nggak bisa ku ucapkan lagi.”
“tapi Yun Yuna-“
Lalu Yuna mematikan telfonya
--
Revan pun memeutuskan untuk pergi
kehalaman belakan kafe ini. Di halaman belakang kafe ini terdapat sebuah taman
kecil. Dan di taman ini Revan sering melepas penat akibat lelahnya berkerja dan
tentang masalahnya.
Terdengar isak tangis suara wanita dan
Revan pun nampak bingung.
Terlihat seorang gadis sedang menangis
sambil memukul-mukulkan tanganya ke kepalanya. Ia menangis seperti orang gila.
Dan Revan pun mengampirinya. Gadis itu terus menangis air matanya terus
membasahi pipi putihnya
“neng, kumaha?” tanya Revan
Gadis itu tidak menjawab dia terus
menangis
“nona nona kenapa? Kamu kenapa?” tanya
sekali lagi
Tiba-tiba saja gadis itu meluk Revan
dan ia menangis makin menjadi-jadi
“aku benci aku benci kenapa aku harus
merasakan semua penderitaan ini.” raungnya
“eh... eh...” dengan spontan Revan pun
mengelus rambut cokelatnya “udah atuh neng jangan nangis nanti geulisnya ilang atuh udah
ya neng jangan nangis atuh.”
“aku cape.” teriaknya “harusnya aku
nggak usah hidup harusnya aku ikut pergi sama ibu dan ayah ke surga harusnya
aku mati... kenapa aku masih hidup ya tuhan kenapa saat aku koma aku nggak
sekalian mati aja? Aku cape hidup!”
“eh si eneng naon ngomong nyak kaya
gitu. Neng, tuhan teh masih sayang sama eneng makanya dia kasih eneng umur
panjang” Gadis itu terus menangis di pelukan Revan
“nggak tuhan jahat sama aku. Kenapa dia ambil ibu sama ayah? Kenapa? Itu
sama aja dia jahat sama aku.”
--
Yuna pun terus menangis ia tidak
perduli siapa saat ini yang sedang bersamanya apakah Mila atau siapa. Yang
pasti perasaanya saat ini benar-benar sedang kalut. Kalut karena Falco pria
yang ia cintai namun telah membuatnya kecewa memohonya untuk kembali dan ini
membuatnya nampak goyah dengan keputusan untuk meninggalakanya.
“neng geulis jangan nangis lagi.” bisik
seseorang di telinganya
“aku cape! Aku nggak sanggup lagi.”
isak Yuna “aku cape semuanya jahat.”
“neng aish si eneng teh naon? Cerita
sama akang sini.” tanya seseorang
Yuna pun melepaskan pelukanya dan
seseorang dengan sigap menghapus air mata yang membasahi pipinya
“aku...aku...” isak Yuna
“iya eneng kenapa?” tanyanya
“aku bener-bener nggak mau hidup
lagi.” isak Yuna “aku mau mati aja aku mau nyusul ibu sama ayah.”
“eits, si eneng ngomong apa si.” maki
pria itu “nggak boleh ngomong mati mati gitu. Mukin ibu sama ayah eneng memang
sudah takdirnya dan eneng sekarang teh harus tetap hidup.”
Sejenak Yuna berhenti menangis.
“neng? Udah nyak jangan nangis lagi.”
kata pria itu
Yuna menganggu khitmad
Sejenak suasan hening. Hanya terdengar
suara henbusan angin di sore hari yang terasa dingin hingga menusuk tulang
“kalo boleh tahu.” pria itu
menimang-nimang “siapa nama eneng? Dari pertama kali kita ketemu akang teh
nggak tahu siapa nama eneng.”
Sontak Yuna terkejut
“kita pernah bertemu? Kapan?” tanya Yuna
nampak bingung
Yuna berusah menghapus sisi air mata
yang masih ada di pipinya
“nampaknya kamu lupa ya?” tanya Revan
“duh kamu ini.”
--
Astaga akhirnya gadis ini berhenti menangis
juga. Sungguh deh baru pertama kali aku melihat seorang gadis menangis
meraung-raung seperti dia. seperti ia tak sanggup lagi untuk menerima sebuah
kenyataan seperti itu dan ,kenapa aku sangat ingin melindunginya? batin Revan
“Yuna” serunya
“he? Tahu dari mana namaku?” tanya
gadis itu
Revan nyengir “hhmm... itu... dari
temanmu.”
“Mila?” tanya gadis itu
Revan mengangguk
“aduh Mila hmm... astaga maaf.” gadis
itu menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya “eh? Kamu yang waktu itu
ya?”
“he-eh.” Revan menggigit bibir
bawahnya “iya... iya...”
“yang punya adik manis itu? Lalu hari
sabtu kemarin tak sengaja kamu memutarkan lagu band kesukaanku?” tanya gadis
itu tak percaya
“tepat sekali.” jawab Revan sumringah
“jadi namamu Yuna? Iya?”
Gadis itu mengangguk “iya aku Yuna.
Maaf ya seharusnya dari awal kita berkenalan siapa namamu?”
Gadis itu berusah tersenyum rona merah
muda terlihat di balik pipi putihnya. Seketika jantung Revan pun berdetak tidak
beraturan
“Re..Revan.” jawabnya terbata-bata “Revan
iya Revan.”
“kak Revan” kata gadis itu “tidak
keberatan aku memanggilmu kakak?”
Revan menggeleng cepat “ti..tidak kok Yuna
tidak apa-apa.”
--
Yuna merasa malu karena menangis di
depan pria ini. Ya pria yang pernah ia temu di kereta api tempo hari. Pria yang
sama-sama menyukai band yang sama denganya. Dan entah kenapa pria ini membuat
hati Yuna sedikit tenang. Pelukan hangatnya seakan-akan ia memberi sebuah
kehangatan untuknya dan perasaan hangat ini belum pernah ia rasakan
“Yuna, kamu kenapa? Tadi kok kamu
menangis seperti itu.” tanya Revan
Yuna mengeleng “nggak apa-apa kok ka.
Sungguh.”
“yakin?” tanya Revan penasaran “jujur
tangisanmu tadi benar-benar kencang loh. apa kamu sedang memilik masalah?”
Yuna mengangguk
“hanya sedikit.” jawabnya sambil
tersenyum
“sedikit?” Revan mengendus “kalau
sedikit kamu tidak akan menangis seperti itu.”
Yuna menghela nafas
“aku, aku hanya sedang merasa
kesepian. Hidupku terasa hampa sejak kematian kedua orang tuaku. Aku
benar-benar tidak tahu... tidak tahu apa yang terjadi aku benar-benar tidak
bisa mengingat dengan baik lagi.”
Dengan sepontan Revan memeluk Yuna
“jangan menangis lagi Yuna, kamu nggak
sendirian sekarang. Aku akan menjadi temanmu. Hhmm... kalau kamu butuh teman
cerita aku siap kok.”
Astaga pria ini. Kenapa kenapa ia memelukku.
Dan pelukannya ini. Sangat hangat. Tuhan apakah dia seorang malaikat? Iya mukin
dia malaikat aku benar-benar tidak ingin melepaskannya Bantin Yuna
“eh? Hhmmm....”
“aduh aduh.” lalu Revan melepaskan
pelukannya “Yuna maaf ya maaf atas sikapku tadi maaf ya maaf banget.”
Yuna tersenyum tipis “ah baiklah kak.
Terima kasih ya.”
“terima kasih untuk?” tanya Revan
bingung
“kamu mau menenangkanku.”
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar